Oleh : Rizky Mauraji
“Ketika pasukan penindasan datang untuk mempertahankan
kekuasaan, mereka melawan hukum yang ditetapkan” (Che Guevara).
Mengawali tulisan ini dengan sebuah kata sapaan
dalam lagunya Iwan Fals ‘Tikus-Tikus Berdasi”. Entah apa yang ada dibenak penulis,
yang jelas sapaan ini mengingatkan kembali kepada kita bahwa korupsi sudah
menjadi hal mainstream di Indonesia dengan kebanyakan pelakunya adalah orang-orang
yang diberi kepercayaan negara atas nama rakyat Indonesia. Korupsi ditanah air
selalu berada pada trending topik di berbagai media massa, baik media cetak
ataupun media online. Mulai dari korupsi tingkatan betrayal of trust, abuse of
power, dan sampai pada tingkatan
yang paling tinggi yakni material benefit.
Kesemuanya merupakan bentuk serta tingkatan korupsi yang memang pada dasarnya
merugikan Negara.
Ditahun 2017 kembali kasus korupsi mencekik ibu
pertiwi. Kali ini yang disorot adalah pejabat tertinggi Negara yakni ketua
DPR-RI dan juga selaku Ketua Umum Partai Golkar dengan status tersangka korupsi
ktp-elektronik. Namun sayangnya SN yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK
justru menuai kontroversial dari berbagai kalangan dan itu dijadikan sebagi
alasan untuk menyerang balik KPK. Lagi-lagi hukum yang dipertaruhkan, dijadikan
sebagai alat untuk saling menyerang antar lembaga negara. Jika kondisinya
seperti ini, penulispun bingung dalam menafsirkan hukum Indonesia hari ini. Namun
jika ditelaah, pemaknaan singkatnya adalah bukan hukum yang mengatur tatanan
hidup manusia melainkan orang-orang yang memiliki power yang seolah-olah mengatur hukum.
Dari beberapa kabar media, SN atau yang disapa
Setnov telah berulang kali mangkir dari panggilan penyelidikan KPK untuk
dimintai keterangan. Penolakan yang dilakukan terus menerus atas dasar berbagai
alasan mulai dari sakit, bepergian keluar kota, dan sibuk dengan tugas negara.
Jabatan SN selaku ketua DPR-RI seakan-akan dijadikan alibi untuk menolak
menjalani proses hukum sebagaimana mestinya. Begitu juga dengan kuasa hukum SN
yang memperkuat semua alasan saudara SN dengan bersandar pada pasal 245 ayat 1
UU MD3 yang mensyaratkan pemeriksaan anggota DPR harus dengan seizin Presiden.
Sehingga SN tidak akan mau diperiksa oleh KPK jika belum mengantongi izin
tertulis dari Presiden. Padahal pasal 245 ayat 3 sudah sangat jelas menyatakan
bahwa ketentuan ayat 1 tidak akan
berlaku apabila anggota DPR melakukan tindak pidana khusus, termasuk korupsi
yang sedang di tersangkakan kepada Ketua DPR-RI. Maka hal ini sudah sangat
gamblang untuk ditarik kesimpulan, bahwa kekuasaan memang telah membuta
sehingga proses hukum tidak lagi dihargai oleh mereka para tikus-tikus berdasi.
Lebih anehnya, mereka justru melakukan perlawanan terhadap hukum yang sudah
jelas menjerat mereka sekalipun.
Kekuasan seringkali dijadikan sebagai bentuk
penindasan terhadap hukum itu sendiri. Disisi yang lain memang tidak bisa
dengan seenaknya mendiskreditkan hukum yang katanya belum mampu diterapkan
sebagaimana mestinya. Secara implisit hukum akan berjalan dengan baik jika
pelaku-pelaku hukum dengan sigap menghargai proses yang ada. Bukankah hukum itu
adalah nilai yang disepakati dan harus dijalankan tanpa memandang bulu. Karena
sejatinya kekuasaan bukan instrumen penindasan. Jika kekuasaan telah merenggut
semua sisi kehidupan sosial termasuk hukum, maka apapun akan dilakukan termasuk
menghalalkan berbagai cara. Hal ini yang jelas-jelas dilakukan oleh Ketua DPR
RI yang menjadi tersangka kasus korupsi e-ktp saat ini, yang mana selalu
bersikap sekan-akan sebagai orang sakti dan terus lari dari proses hukum.
Secara histori, dilihat dari jejak rekam SN memang bukan baru kali ini menjadi
tersangka kasus korupsi. Sudah beberapa
kali SN di periksa oleh KPK sebagai tersangka kasus korupsi, namun SN selalu
lolos dari jeratan hukum dengan memanfaatkan posisi kekuasaanya.
Kasus mega korupsi e-ktp memang merupakan salah satu
kasus terberat KPK dalam proses penyelidikan kepada tersangka. Pasalnya selain
alasan yang disampaikan, tersangka juga setiap kali ketika mau diperiksa terus
melakukan perlawanan kepada oknum-oknum KPK. Kuasa hukum SN melakukan
perlawanan balik berupa pelaporan kedua pimpinan KPK kepada pihak kepolisian
atas tuduhan penyalahgunaan wewenang kekuasaan karena telah mencegah saudara SN
untuk bepergian keluar negeri. Hal ini jelas merupakan bentuk ancaman yang
berorientasi pada pelemahan proses hukum itu sendiri. Karena ketika hukum telah
diberdaya oleh kekuasaan maka wong cilik
yang tidak memiliki power sama sekali menjadi korbannya. Sehingga istilah “tajam kebawah tumpul keatas” akan tetap
terus menjadi slogan pasif terhadap hukum Indonesia.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa
penulis tidak bisa menyalahkan sepenuhnya terhadap proses hukum yang ada di
Indonesia. Terutama kepada KPK sebagai satu-satunya lembaga independen yang
bertujuan untuk memberantas korupsi di negara ini. KPK telah menjalankan
tugasnya untuk menangkap dan melakukan penyelidikan kepada para tersangka kasus-kasus
korupsi. Begitu juga dengan kasus e-ktp saat ini yang menjerat tersangka ketua
DPR RI sekalipun. Karena pada esensinya hukum tidak bisa diperbudak oleh
kekuasaan, yang salah tetap harus diproses sesuai ketentuan undang-undang yang
berlaku. Penulis hanya berharap siapapun dia, Presiden sekalipun harus tetap
menghormati proses hukum yang ada. Karena Indonesia adalah negara hukum yang
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, seperti yang termaktub dalam dasar
negara sila ke-lima pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar