Selasa, 21 November 2017

E-KTP, PERIHAL HUKUM DAN KEKUASAAN

Oleh : Rizky Mauraji

“Ketika pasukan penindasan datang untuk mempertahankan kekuasaan, mereka melawan hukum yang ditetapkan” (Che Guevara).

Mengawali tulisan ini dengan sebuah kata sapaan dalam lagunya Iwan Fals ‘Tikus-Tikus Berdasi”. Entah apa yang ada dibenak penulis, yang jelas sapaan ini mengingatkan kembali kepada kita bahwa korupsi sudah menjadi hal mainstream di Indonesia dengan kebanyakan pelakunya adalah orang-orang yang diberi kepercayaan negara atas nama rakyat Indonesia. Korupsi ditanah air selalu berada pada trending topik di berbagai media massa, baik media cetak ataupun media online. Mulai dari korupsi tingkatan betrayal of trust, abuse of power, dan  sampai pada tingkatan yang paling tinggi yakni material benefit. Kesemuanya merupakan bentuk serta tingkatan korupsi yang memang pada dasarnya merugikan Negara.
Ditahun 2017 kembali kasus korupsi mencekik ibu pertiwi. Kali ini yang disorot adalah pejabat tertinggi Negara yakni ketua DPR-RI dan juga selaku Ketua Umum Partai Golkar dengan status tersangka korupsi ktp-elektronik. Namun sayangnya SN yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK justru menuai kontroversial dari berbagai kalangan dan itu dijadikan sebagi alasan untuk menyerang balik KPK. Lagi-lagi hukum yang dipertaruhkan, dijadikan sebagai alat untuk saling menyerang antar lembaga negara. Jika kondisinya seperti ini, penulispun bingung dalam menafsirkan hukum Indonesia hari ini. Namun jika ditelaah, pemaknaan singkatnya adalah bukan hukum yang mengatur tatanan hidup manusia melainkan orang-orang yang memiliki power yang seolah-olah mengatur hukum.
Dari beberapa kabar media, SN atau yang disapa Setnov telah berulang kali mangkir dari panggilan penyelidikan KPK untuk dimintai keterangan. Penolakan yang dilakukan terus menerus atas dasar berbagai alasan mulai dari sakit, bepergian keluar kota, dan sibuk dengan tugas negara. Jabatan SN selaku ketua DPR-RI seakan-akan dijadikan alibi untuk menolak menjalani proses hukum sebagaimana mestinya. Begitu juga dengan kuasa hukum SN yang memperkuat semua alasan saudara SN dengan bersandar pada pasal 245 ayat 1 UU MD3 yang mensyaratkan pemeriksaan anggota DPR harus dengan seizin Presiden. Sehingga SN tidak akan mau diperiksa oleh KPK jika belum mengantongi izin tertulis dari Presiden. Padahal pasal 245 ayat 3 sudah sangat jelas menyatakan bahwa  ketentuan ayat 1 tidak akan berlaku apabila anggota DPR melakukan tindak pidana khusus, termasuk korupsi yang sedang di tersangkakan kepada Ketua DPR-RI. Maka hal ini sudah sangat gamblang untuk ditarik kesimpulan, bahwa kekuasaan memang telah membuta sehingga proses hukum tidak lagi dihargai oleh mereka para tikus-tikus berdasi. Lebih anehnya, mereka justru melakukan perlawanan terhadap hukum yang sudah jelas menjerat mereka sekalipun.
Kekuasan seringkali dijadikan sebagai bentuk penindasan terhadap hukum itu sendiri. Disisi yang lain memang tidak bisa dengan seenaknya mendiskreditkan hukum yang katanya belum mampu diterapkan sebagaimana mestinya. Secara implisit hukum akan berjalan dengan baik jika pelaku-pelaku hukum dengan sigap menghargai proses yang ada. Bukankah hukum itu adalah nilai yang disepakati dan harus dijalankan tanpa memandang bulu. Karena sejatinya kekuasaan bukan instrumen penindasan. Jika kekuasaan telah merenggut semua sisi kehidupan sosial termasuk hukum, maka apapun akan dilakukan termasuk menghalalkan berbagai cara. Hal ini yang jelas-jelas dilakukan oleh Ketua DPR RI yang menjadi tersangka kasus korupsi e-ktp saat ini, yang mana selalu bersikap sekan-akan sebagai orang sakti dan terus lari dari proses hukum. Secara histori, dilihat dari jejak rekam SN memang bukan baru kali ini menjadi tersangka kasus korupsi.  Sudah beberapa kali SN di periksa oleh KPK sebagai tersangka kasus korupsi, namun SN selalu lolos dari jeratan hukum dengan memanfaatkan posisi kekuasaanya.
Kasus mega korupsi e-ktp memang merupakan salah satu kasus terberat KPK dalam proses penyelidikan kepada tersangka. Pasalnya selain alasan yang disampaikan, tersangka juga setiap kali ketika mau diperiksa terus melakukan perlawanan kepada oknum-oknum KPK. Kuasa hukum SN melakukan perlawanan balik berupa pelaporan kedua pimpinan KPK kepada pihak kepolisian atas tuduhan penyalahgunaan wewenang kekuasaan karena telah mencegah saudara SN untuk bepergian keluar negeri. Hal ini jelas merupakan bentuk ancaman yang berorientasi pada pelemahan proses hukum itu sendiri. Karena ketika hukum telah diberdaya oleh kekuasaan maka wong cilik yang tidak memiliki power sama sekali menjadi korbannya. Sehingga istilah “tajam kebawah tumpul keatas” akan tetap terus menjadi slogan pasif terhadap hukum Indonesia.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa penulis tidak bisa menyalahkan sepenuhnya terhadap proses hukum yang ada di Indonesia. Terutama kepada KPK sebagai satu-satunya lembaga independen yang bertujuan untuk memberantas korupsi di negara ini. KPK telah menjalankan tugasnya untuk menangkap dan melakukan penyelidikan kepada para tersangka kasus-kasus korupsi. Begitu juga dengan kasus e-ktp saat ini yang menjerat tersangka ketua DPR RI sekalipun. Karena pada esensinya hukum tidak bisa diperbudak oleh kekuasaan, yang salah tetap harus diproses sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Penulis hanya berharap siapapun dia, Presiden sekalipun harus tetap menghormati proses hukum yang ada. Karena Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, seperti yang termaktub dalam dasar negara sila ke-lima pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar