Kamis, 23 November 2017

CERITA WARUNG KOPI, DRAKOR ATAU BOLLYWOOD ?


Oleh : Rizky Mauraji

Dunia perfilman memang merupakan dunia yang sangat banyak diminati oleh kalangan masyarakat. Padahal adegan-adegan yang ditayangkan tidak sepenuhnya berangkat dari kisah nyata melainkan sebagian besar adalah rekayasa. Entah kenapa, dari yang muda sampai tua merasa bahwa sebuah film adalah tontonan yang sangat menarik, mungkin karena disatu sisi membuat para penonton terbawa suasana dan hanyut dengan alur cerita yang dimainkan dalam sebuah film. Sebut saja BAPER, suatu istilah keren kids jaman now. Itu sebabnya kenapa industri perfilman secara pendapatan sangatlah begitu besar.

Berbicara kata BAPER, memang sudah tidak asing lagi dirasakan jika sedang menonton sebuah film, sebut saja Drama Korea dan Bollywood. Maaf, bukan bermaksud mendiskreditkan film-film yang lain. Tetapi karena penulis lebih suka mengkaji dua industri film ini, dengan melihat pengaruhnya terhadap orang-orang di lingkungan sekitar seperti teman, saudara, bahkan mungkin juga calon pacar.
Serupuuuttt kopinya dulu, bisa-bisa saya dibully habis oleh mereka karena tulisan ini. Hehehehe..!!

Kemarin, disaat sedang santai diwarung kopi, ada seorang sahabat dekat bertanya kepada saya, ente lebih suka Drama Korea atau Indian ?. Saya langsung kaget sembari menatapnya tajam. Pikirku sederhana, aneh betul kawan saya ini, bertanya dengan hanya memberi dua opsi jawaban, Drakor atau Indian ?. Padahal  masih banyak industri film lainnya, semisal Hollywood, Anime, Jepang, Thailand, Malaysia, dan masih banyak lagi. Bahkan lebih kurang ajarnya, film Indonesia sendiri tidak masuk dalam opsi pertanyaannya. Aahh, sudahlah. Dia yang bertanya kenapa saya yang kerepotan mikir, bukannya menjawab.
Tapi pertanyaan diatas tidak akan saya jawab langsung. Saya hanya akan memberi gambaran dari kedua industri film ini, apa dan bagaimana menilai seberapa menariknya kedua film itu, terlebih pengaruhnya.

Yang pertama, Drakor atau Drama Korea. Sebuah industri perfilman korea yang begitu banyak diminati di Indonesia. Menariknya Drakor ini memiliki durasi film yang begitu lama karena ditayangkan episode per episode. Selain minat terhadap alur cerita, pemeran tokoh dalam Drakor yang sebagian besar pemerannya memiliki wajah tampan dan cantik, sebut saja Lee Min-Ho dan Park Shin-Hye. Mungkin karena wajah pemeran yang tampan dan cantik inilah sehingga mendapatkan minat tersendiri juga dihati para pecinta drakor.

Sebuah artikel berjudul Bahaya Menonton Drama Korea Bagi Psikologis Remaja yang dimuat di media kompasiana pada tanggal 12 April 2016, menjelaskan bahwa ada 4 pengaruh negatif drama korea terhadap orang yang berlebihan dalam hal ini pecandu Drakor. Dampak negatif yang pertama yaitu tidak realistis memandang kehidupan, karena membuat seseorang akan lebih banyak berhakyal dan berekspektasi tinggi, dan berharap dalam kehidupan nyata harus sesuai dengan apa yang ditontonnya. Yang kedua, berbicara ala gaya korea, karena jika logat bahasa korea ketika diaplikasikan dalam berbahasa Indonesia menjadi tidak enak didengar, misalnya oppa..saranghe. kata ini ketika diucapkan oleh para remaja akan terdengar nada alay, dan rada-rada manja. Bukan hanya masalah cara berbicara, life style juga seringkali ditiru padahal bisa jadi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka akan terkesan memaksa. Yang ketiga, penuh ambisi, obsesi, dan menghalalkan segala cara, bagaimana tidak ?. kebanyakan remaja ketika aktor yang diidolakan datang ke Indonesia, mereka dengan ambisi dan terobsesi untuk melihat aktor yang diidolakan tersebut, walaupun perjalanannya harus keluar kota dan bahkan tiket yang dijual harganya selangit. Yang keempat, kurang istirahat dan cenderung introvert, karena drama korea memiliki durasi yang lama sampai episode per episode, pecinta drakor sampai rela menghabiskan waktunya dan lupa melakukan kegiatan lain serta mengabaikan lingkungan sekitar dikarenakan terbiasa asyik dengan dunianya sendiri.

Bagaimana dengan Bollywood ? sontak teman saya memotong penjelasan saya. Mungkin dia berpikir kenapa celotehan saya hanya Drakor yang saya soroti apalagi semua yang saya sebutkan diatas adalah dampak negatifnya.

Karena tau maksudnya, saya dengan senyum lantas menjawab waktu saya sudah habis untuk mengulas dampak negatif dari Bollywood, tapi yang jelas Dampak negatif dan positif tidak bisa dipisahkan seperti kopi yang kupesan ini

Pintar sekali kau ngelesss, sambil tertawa lebar sahabat saya itu.

Sebelum beranjak pergi, sahabat saya masih penasaran. Sambil mendekat dia mengulangi pertanyaannya. Suka Drakor atau Bollywood ?

Karena kasihan, saya lantas menjawab : DRAKOR, Korea Utara Tapi.

Rabu, 22 November 2017

KETERGANTUNGAN TERHADAP GADGET, GANGGUAN JIWA ATAU TIDAK


Oleh : Rizky Mauraji


Kebiasaan menggunakan smartphone merupakan jalan munculnya ketergantungan terhadap smartphone. (Oulasvirta, 2012)

Masyarakat modern, mungkin ini sebuah kalimat yang simple tapi tersirat makna yang menyesatkan bila tidak bijak dalam menginterpretasi bahasa tersebut, sebut saja zaman milenial mungkin lebih keren. Diabad ke-21 ini apa yang tidak mungkin didapatkan, semua serba bisa, cepat dan tepat waktu. Mulai dari belanja, transportasi, transferan uang, kiriman barang, semua serba online.  Mungkin kedepannya bisa jadi toilet pun online, hehehe. Tapi siapa tau dengan cerdasnya manusia saat ini apapun yang diluar nalar rasionalpun bisa jadi terealisasi.

Saya teringat sebuah ocehan teman tentang trennya kata kids jaman now. Sekilas dia bertanya, “kenapa kita sekarang ini semakin apatis terhadap kondisi bangsa Indonesia “ ?. Mendengar pertanyaannya saya sedikit bergumam dalam diam, kok kritis sekali kawan saya ini. Pertanyaan yang memang butuh analisis mendalam dari sebab musabab tentang kondisi yang dimaksud. Saya katakan sulit menjawab, karena kita juga tidak bisa seenaknya menyalahkan perkembangan zaman.

Pertanyaan diatas memang sangat relevan dengan kondisi hari ini, tapi berbicara bangsa Indonesia terlalu luas, maka lebih baik memulainya dari kondisi lingkungan sekitar kita. Contoh sederhananya Warung Kopi. Kita akan dengan mudah menemukan kata apatis yang dimaksud, dengan mengamati orang-orang yang sedang menikmati secangkir rasa, entah kopi atau apapun itu. Disana akan dengan sadar kita mengiyakan, bahwa kebanyakan orang sibuk dengan gadget mereka sendiri daripada teman disampingnya yang mungkin ingin berdiskusi ataupun curhat tentang perasaannya, entahlah. Kalau dibahasakan dengan kasar, mereka sudah memiliki ketergantungan lebih terhadap benda kecil yang katanya cerdas itu. Lantas apa kita harus menyalakan gadget sebagai suatu teknologi canggih hasil dari zaman now yang membuat kita APATIS ??. Kurang ajar betul, kita menyalahkan zaman. Mungkin kita butuh KOPI agar tetap waras.

Menurut Suller, 1996. Seseorang dinyatakan telah memiliki ketergantungan terhadap suatu stimulus jika hubungan dengan orang-orang terdekatnya terganggu, mengeluh, kecewa, dan merasa diabaikan karena stimulus tersebut.

Pernyataan seorang ahli psikologi internet diatas, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa sikap apatis yang dimaksud teman saya diatas adalah karena adanya ketergantungan yang lebih terhadap gadget yang tanpa sadar telah mengabaikan orang-orang disekitar kita.


Ketergantungan terhadap gadget, apakah gejala gangguan jiwa ?

Pada akhirnya kita harus menjawab pertanyaan aneh ini. Saya akan coba mengulas poin penting dari persoalan diatas, masalah gangguan dan tidak silahkan disimpulkan sendiri.

Ketergantungan terhadap gadget tidaklah menjadi persoalan, karena justru gadget diciptakan agar mempermudah manusia dalam mengakses berbagai informasi melalui internet dan media sosial lainnya. Semisalnya, saya yang berada di pulau jawa bisa mengetahui kondisi daerah saya cukup dengan mengusap jari pada layar smartphone, simple bukan. Akan tetapi yang menjadi titik fokus masalah pada ketergantungan ini adalah pengaruhnya. Iya, pengaruhnya yang sampai pada tingkatan mengabaikan orang-orang disekitar kita. Katakan saja Anti Sosial, secara harfiah anti sosial yang dimaksud adalah ketika seseorang tidak lagi perduli dan merasa dirinya tidak membutuhkan orang lain dalam hidupnya.

Dalam psikologi, dikenal dengan sebuah istilah yaitu afeksi atau perasaan yang merupakan suatu bentuk kecerdasan emosi dimana seorang individu berinteraksi dengan baik terhadap lingkungannya dan orang-orang disekitarnya. Tidak dikatakan sehat secara mental jika emosinya masih belum maksimal, karena akan berpengaruh terhadap psikomotor atau perilakunya. Oleh karena itu, kesan yang lahir ketika sikap anti sosial dalam ranah yang kecil semisal di warung kopi seperti pembahasan diatas, adalah tidak menghargai orang-orang disebelah kanan kiri kita yang mungkin juga teman dekat atau keluarga kita sendiri. Padahal kebutuhan manusia salah satunya adalah kebutuhan untuk dihargai, seperti apa yang dijelaskan dalam teori Piramida Kebutuhan Abraham Maslow (Pelopor aliran psikologi Humanistik).

Maka saya akhiri tulisan ini dengan sebuah bahasa musisi senior Iwan Fals Bongkar Kebiasaan Lama.
Silahkan diangkat cangkirnya dan minum KOPINYA.


Selasa, 21 November 2017

E-KTP, PERIHAL HUKUM DAN KEKUASAAN

Oleh : Rizky Mauraji

“Ketika pasukan penindasan datang untuk mempertahankan kekuasaan, mereka melawan hukum yang ditetapkan” (Che Guevara).

Mengawali tulisan ini dengan sebuah kata sapaan dalam lagunya Iwan Fals ‘Tikus-Tikus Berdasi”. Entah apa yang ada dibenak penulis, yang jelas sapaan ini mengingatkan kembali kepada kita bahwa korupsi sudah menjadi hal mainstream di Indonesia dengan kebanyakan pelakunya adalah orang-orang yang diberi kepercayaan negara atas nama rakyat Indonesia. Korupsi ditanah air selalu berada pada trending topik di berbagai media massa, baik media cetak ataupun media online. Mulai dari korupsi tingkatan betrayal of trust, abuse of power, dan  sampai pada tingkatan yang paling tinggi yakni material benefit. Kesemuanya merupakan bentuk serta tingkatan korupsi yang memang pada dasarnya merugikan Negara.
Ditahun 2017 kembali kasus korupsi mencekik ibu pertiwi. Kali ini yang disorot adalah pejabat tertinggi Negara yakni ketua DPR-RI dan juga selaku Ketua Umum Partai Golkar dengan status tersangka korupsi ktp-elektronik. Namun sayangnya SN yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK justru menuai kontroversial dari berbagai kalangan dan itu dijadikan sebagi alasan untuk menyerang balik KPK. Lagi-lagi hukum yang dipertaruhkan, dijadikan sebagai alat untuk saling menyerang antar lembaga negara. Jika kondisinya seperti ini, penulispun bingung dalam menafsirkan hukum Indonesia hari ini. Namun jika ditelaah, pemaknaan singkatnya adalah bukan hukum yang mengatur tatanan hidup manusia melainkan orang-orang yang memiliki power yang seolah-olah mengatur hukum.
Dari beberapa kabar media, SN atau yang disapa Setnov telah berulang kali mangkir dari panggilan penyelidikan KPK untuk dimintai keterangan. Penolakan yang dilakukan terus menerus atas dasar berbagai alasan mulai dari sakit, bepergian keluar kota, dan sibuk dengan tugas negara. Jabatan SN selaku ketua DPR-RI seakan-akan dijadikan alibi untuk menolak menjalani proses hukum sebagaimana mestinya. Begitu juga dengan kuasa hukum SN yang memperkuat semua alasan saudara SN dengan bersandar pada pasal 245 ayat 1 UU MD3 yang mensyaratkan pemeriksaan anggota DPR harus dengan seizin Presiden. Sehingga SN tidak akan mau diperiksa oleh KPK jika belum mengantongi izin tertulis dari Presiden. Padahal pasal 245 ayat 3 sudah sangat jelas menyatakan bahwa  ketentuan ayat 1 tidak akan berlaku apabila anggota DPR melakukan tindak pidana khusus, termasuk korupsi yang sedang di tersangkakan kepada Ketua DPR-RI. Maka hal ini sudah sangat gamblang untuk ditarik kesimpulan, bahwa kekuasaan memang telah membuta sehingga proses hukum tidak lagi dihargai oleh mereka para tikus-tikus berdasi. Lebih anehnya, mereka justru melakukan perlawanan terhadap hukum yang sudah jelas menjerat mereka sekalipun.
Kekuasan seringkali dijadikan sebagai bentuk penindasan terhadap hukum itu sendiri. Disisi yang lain memang tidak bisa dengan seenaknya mendiskreditkan hukum yang katanya belum mampu diterapkan sebagaimana mestinya. Secara implisit hukum akan berjalan dengan baik jika pelaku-pelaku hukum dengan sigap menghargai proses yang ada. Bukankah hukum itu adalah nilai yang disepakati dan harus dijalankan tanpa memandang bulu. Karena sejatinya kekuasaan bukan instrumen penindasan. Jika kekuasaan telah merenggut semua sisi kehidupan sosial termasuk hukum, maka apapun akan dilakukan termasuk menghalalkan berbagai cara. Hal ini yang jelas-jelas dilakukan oleh Ketua DPR RI yang menjadi tersangka kasus korupsi e-ktp saat ini, yang mana selalu bersikap sekan-akan sebagai orang sakti dan terus lari dari proses hukum. Secara histori, dilihat dari jejak rekam SN memang bukan baru kali ini menjadi tersangka kasus korupsi.  Sudah beberapa kali SN di periksa oleh KPK sebagai tersangka kasus korupsi, namun SN selalu lolos dari jeratan hukum dengan memanfaatkan posisi kekuasaanya.
Kasus mega korupsi e-ktp memang merupakan salah satu kasus terberat KPK dalam proses penyelidikan kepada tersangka. Pasalnya selain alasan yang disampaikan, tersangka juga setiap kali ketika mau diperiksa terus melakukan perlawanan kepada oknum-oknum KPK. Kuasa hukum SN melakukan perlawanan balik berupa pelaporan kedua pimpinan KPK kepada pihak kepolisian atas tuduhan penyalahgunaan wewenang kekuasaan karena telah mencegah saudara SN untuk bepergian keluar negeri. Hal ini jelas merupakan bentuk ancaman yang berorientasi pada pelemahan proses hukum itu sendiri. Karena ketika hukum telah diberdaya oleh kekuasaan maka wong cilik yang tidak memiliki power sama sekali menjadi korbannya. Sehingga istilah “tajam kebawah tumpul keatas” akan tetap terus menjadi slogan pasif terhadap hukum Indonesia.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa penulis tidak bisa menyalahkan sepenuhnya terhadap proses hukum yang ada di Indonesia. Terutama kepada KPK sebagai satu-satunya lembaga independen yang bertujuan untuk memberantas korupsi di negara ini. KPK telah menjalankan tugasnya untuk menangkap dan melakukan penyelidikan kepada para tersangka kasus-kasus korupsi. Begitu juga dengan kasus e-ktp saat ini yang menjerat tersangka ketua DPR RI sekalipun. Karena pada esensinya hukum tidak bisa diperbudak oleh kekuasaan, yang salah tetap harus diproses sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Penulis hanya berharap siapapun dia, Presiden sekalipun harus tetap menghormati proses hukum yang ada. Karena Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, seperti yang termaktub dalam dasar negara sila ke-lima pancasila.