Rabu, 22 November 2017

KETERGANTUNGAN TERHADAP GADGET, GANGGUAN JIWA ATAU TIDAK


Oleh : Rizky Mauraji


Kebiasaan menggunakan smartphone merupakan jalan munculnya ketergantungan terhadap smartphone. (Oulasvirta, 2012)

Masyarakat modern, mungkin ini sebuah kalimat yang simple tapi tersirat makna yang menyesatkan bila tidak bijak dalam menginterpretasi bahasa tersebut, sebut saja zaman milenial mungkin lebih keren. Diabad ke-21 ini apa yang tidak mungkin didapatkan, semua serba bisa, cepat dan tepat waktu. Mulai dari belanja, transportasi, transferan uang, kiriman barang, semua serba online.  Mungkin kedepannya bisa jadi toilet pun online, hehehe. Tapi siapa tau dengan cerdasnya manusia saat ini apapun yang diluar nalar rasionalpun bisa jadi terealisasi.

Saya teringat sebuah ocehan teman tentang trennya kata kids jaman now. Sekilas dia bertanya, “kenapa kita sekarang ini semakin apatis terhadap kondisi bangsa Indonesia “ ?. Mendengar pertanyaannya saya sedikit bergumam dalam diam, kok kritis sekali kawan saya ini. Pertanyaan yang memang butuh analisis mendalam dari sebab musabab tentang kondisi yang dimaksud. Saya katakan sulit menjawab, karena kita juga tidak bisa seenaknya menyalahkan perkembangan zaman.

Pertanyaan diatas memang sangat relevan dengan kondisi hari ini, tapi berbicara bangsa Indonesia terlalu luas, maka lebih baik memulainya dari kondisi lingkungan sekitar kita. Contoh sederhananya Warung Kopi. Kita akan dengan mudah menemukan kata apatis yang dimaksud, dengan mengamati orang-orang yang sedang menikmati secangkir rasa, entah kopi atau apapun itu. Disana akan dengan sadar kita mengiyakan, bahwa kebanyakan orang sibuk dengan gadget mereka sendiri daripada teman disampingnya yang mungkin ingin berdiskusi ataupun curhat tentang perasaannya, entahlah. Kalau dibahasakan dengan kasar, mereka sudah memiliki ketergantungan lebih terhadap benda kecil yang katanya cerdas itu. Lantas apa kita harus menyalakan gadget sebagai suatu teknologi canggih hasil dari zaman now yang membuat kita APATIS ??. Kurang ajar betul, kita menyalahkan zaman. Mungkin kita butuh KOPI agar tetap waras.

Menurut Suller, 1996. Seseorang dinyatakan telah memiliki ketergantungan terhadap suatu stimulus jika hubungan dengan orang-orang terdekatnya terganggu, mengeluh, kecewa, dan merasa diabaikan karena stimulus tersebut.

Pernyataan seorang ahli psikologi internet diatas, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa sikap apatis yang dimaksud teman saya diatas adalah karena adanya ketergantungan yang lebih terhadap gadget yang tanpa sadar telah mengabaikan orang-orang disekitar kita.


Ketergantungan terhadap gadget, apakah gejala gangguan jiwa ?

Pada akhirnya kita harus menjawab pertanyaan aneh ini. Saya akan coba mengulas poin penting dari persoalan diatas, masalah gangguan dan tidak silahkan disimpulkan sendiri.

Ketergantungan terhadap gadget tidaklah menjadi persoalan, karena justru gadget diciptakan agar mempermudah manusia dalam mengakses berbagai informasi melalui internet dan media sosial lainnya. Semisalnya, saya yang berada di pulau jawa bisa mengetahui kondisi daerah saya cukup dengan mengusap jari pada layar smartphone, simple bukan. Akan tetapi yang menjadi titik fokus masalah pada ketergantungan ini adalah pengaruhnya. Iya, pengaruhnya yang sampai pada tingkatan mengabaikan orang-orang disekitar kita. Katakan saja Anti Sosial, secara harfiah anti sosial yang dimaksud adalah ketika seseorang tidak lagi perduli dan merasa dirinya tidak membutuhkan orang lain dalam hidupnya.

Dalam psikologi, dikenal dengan sebuah istilah yaitu afeksi atau perasaan yang merupakan suatu bentuk kecerdasan emosi dimana seorang individu berinteraksi dengan baik terhadap lingkungannya dan orang-orang disekitarnya. Tidak dikatakan sehat secara mental jika emosinya masih belum maksimal, karena akan berpengaruh terhadap psikomotor atau perilakunya. Oleh karena itu, kesan yang lahir ketika sikap anti sosial dalam ranah yang kecil semisal di warung kopi seperti pembahasan diatas, adalah tidak menghargai orang-orang disebelah kanan kiri kita yang mungkin juga teman dekat atau keluarga kita sendiri. Padahal kebutuhan manusia salah satunya adalah kebutuhan untuk dihargai, seperti apa yang dijelaskan dalam teori Piramida Kebutuhan Abraham Maslow (Pelopor aliran psikologi Humanistik).

Maka saya akhiri tulisan ini dengan sebuah bahasa musisi senior Iwan Fals Bongkar Kebiasaan Lama.
Silahkan diangkat cangkirnya dan minum KOPINYA.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar