Oleh : Rizky Mauraji
“Kebiasaan menggunakan smartphone merupakan
jalan munculnya ketergantungan terhadap smartphone“. (Oulasvirta, 2012)
Masyarakat
modern, mungkin ini sebuah kalimat yang simple tapi tersirat makna yang
menyesatkan bila tidak bijak dalam menginterpretasi bahasa tersebut, sebut saja
zaman milenial mungkin lebih keren. Diabad ke-21 ini apa yang tidak mungkin didapatkan,
semua serba bisa, cepat dan tepat waktu. Mulai dari belanja, transportasi,
transferan uang, kiriman barang, semua serba online. Mungkin kedepannya bisa jadi toilet pun
online, hehehe. Tapi siapa tau dengan cerdasnya manusia saat ini apapun yang
diluar nalar rasionalpun bisa jadi terealisasi.
Saya
teringat sebuah ocehan teman tentang trennya kata kids jaman now. Sekilas dia
bertanya, “kenapa kita sekarang ini
semakin apatis terhadap kondisi bangsa Indonesia “ ?. Mendengar pertanyaannya
saya sedikit bergumam dalam diam, kok kritis sekali kawan saya ini. Pertanyaan yang
memang butuh analisis mendalam dari sebab musabab tentang kondisi yang
dimaksud. Saya katakan sulit menjawab, karena kita juga tidak bisa seenaknya
menyalahkan perkembangan zaman.
Pertanyaan
diatas memang sangat relevan dengan kondisi hari ini, tapi berbicara bangsa
Indonesia terlalu luas, maka lebih baik memulainya dari kondisi lingkungan
sekitar kita. Contoh sederhananya Warung Kopi. Kita akan dengan mudah menemukan
kata apatis yang dimaksud, dengan mengamati orang-orang yang sedang menikmati
secangkir rasa, entah kopi atau apapun itu. Disana akan dengan sadar kita
mengiyakan, bahwa kebanyakan orang sibuk dengan gadget mereka sendiri daripada
teman disampingnya yang mungkin ingin berdiskusi ataupun curhat tentang perasaannya,
entahlah. Kalau dibahasakan dengan kasar, mereka sudah memiliki ketergantungan
lebih terhadap benda kecil yang katanya cerdas itu. Lantas apa kita harus
menyalakan gadget sebagai suatu teknologi canggih hasil dari zaman now yang
membuat kita APATIS ??. Kurang ajar
betul, kita menyalahkan zaman. Mungkin kita butuh KOPI agar tetap waras.
Menurut Suller, 1996. Seseorang dinyatakan telah memiliki ketergantungan
terhadap suatu stimulus jika hubungan dengan orang-orang terdekatnya terganggu,
mengeluh, kecewa, dan merasa diabaikan karena stimulus tersebut.
Pernyataan seorang ahli psikologi internet diatas,
dapat ditarik sebuah benang merah bahwa sikap apatis yang dimaksud teman saya
diatas adalah karena adanya ketergantungan yang lebih terhadap gadget yang
tanpa sadar telah mengabaikan orang-orang disekitar kita.
Ketergantungan terhadap gadget, apakah gejala gangguan jiwa ?
Pada akhirnya kita harus menjawab pertanyaan aneh
ini. Saya akan coba mengulas poin penting dari persoalan diatas, masalah
gangguan dan tidak silahkan disimpulkan sendiri.
Ketergantungan terhadap gadget tidaklah menjadi
persoalan, karena justru gadget diciptakan agar mempermudah manusia dalam mengakses
berbagai informasi melalui internet dan media sosial lainnya. Semisalnya, saya yang
berada di pulau jawa bisa mengetahui kondisi daerah saya cukup dengan mengusap
jari pada layar smartphone, simple bukan. Akan tetapi yang menjadi titik fokus
masalah pada ketergantungan ini adalah pengaruhnya. Iya, pengaruhnya yang sampai
pada tingkatan mengabaikan orang-orang disekitar kita. Katakan saja Anti
Sosial, secara harfiah anti sosial yang dimaksud adalah ketika seseorang tidak
lagi perduli dan merasa dirinya tidak membutuhkan orang lain dalam hidupnya.
Dalam psikologi, dikenal dengan sebuah istilah
yaitu afeksi atau perasaan yang
merupakan suatu bentuk kecerdasan emosi dimana seorang individu berinteraksi
dengan baik terhadap lingkungannya dan orang-orang disekitarnya. Tidak dikatakan
sehat secara mental jika emosinya masih belum maksimal, karena akan berpengaruh
terhadap psikomotor atau perilakunya.
Oleh karena itu, kesan yang lahir ketika sikap anti sosial dalam ranah yang
kecil semisal di warung kopi seperti pembahasan diatas, adalah tidak menghargai
orang-orang disebelah kanan kiri kita yang mungkin juga teman dekat atau
keluarga kita sendiri. Padahal kebutuhan manusia salah satunya adalah kebutuhan
untuk dihargai, seperti apa yang dijelaskan dalam teori Piramida Kebutuhan Abraham Maslow (Pelopor aliran psikologi
Humanistik).
Maka saya akhiri tulisan ini dengan sebuah bahasa
musisi senior Iwan Fals “Bongkar Kebiasaan Lama “.
Silahkan diangkat cangkirnya dan minum KOPINYA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar